Selasa, 21 Februari 2012

Status Anak di Luar Nikah Setelah Putusan MK

Pertanyaan ini dikirim dalam  komentar postingan kami  sebelumnya. Mengingat masalah ini penting juga diketahui oleh pembaca yang lain, maka tanggapan yang telah kami berikan atas pertanyaan tersebut, kami posting di sini. Semoga bermanfaat

Pertanyaan
Haramain Usman di Univ. Hukum Muhammadiyah Aceh
Bagaimana pendapat bapak terhadap putusan MK yang menerima permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang status anak haram ?

Jawaban:

Sebelumnya kami jelaskan dulu mengenai penyebutan anak zina di mana tidak ada terminologi anak haram dan anak zina dalam Islam, yang ada adalah anak yang dilahirkan dari hasil perbuatan haram dan zina. Menurut kaedah mafhum, sesuatu yang dihasilkan dari yang haram, hasilnya juga haram, namun kaedah mafhum dalam kasus "anak haram" tidak dapat diperlakukan karena ada hadis yang menjelaskan "kullu mauludin yuladu 'ala alfitrah.... setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Katakanlah: "Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, Padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan." (QS. Al-An’am: 164).

Berkaitan dengan putusan Mahkamah Konstitusi tentang pembatalan satu pasal dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang diajukan oleh Marchicha (istri sirri Moerdiono) pada dasarnya berdampak pada perubahan bangunan hukum Islam itu sendiri khususnya masalah perkawinan, kewarisan dan perwalian nikah.

Sebelumnya kami mencoba menguraikan pendapat imam mazhab tentang anak sah. Menurut pendapat Mazhab Hanafi,  jika seseorang lelaki kawin dengan seorang wanita, kemudian wanita tersebut melahirkan anak dalam waktu kurang dari enam bulan dari tanggal pernikahan, anak tersebut tidak dinasabkan kepada lelaki itu kerana pembenihan telah terjadi sebelum nikah. Begitu pula pendapat mazhab Zahiri, dan mazhab Syafi'i membolehkan seorang suami menyangkal anaknya yang lahir di atas enam bulan dan kurang dari empat bulan masa pernikahan dengan cara li'an. Kalau tidak disanggah, maka anak itu dibangsakan kepadanya sesuai dengan hadis, maksudnya: Keabsahan seorang anak berasal dari tempat tidur...(Riwayat Al-Bukhari).

Anak yang lahir dari hasil zina menurut jumhur tidak dinasabkan kepada bapak biologisnya, namun menurut Ibn Muhammad bin Sirrin, Ibn Taimiyyah, Ibn Qayyim, Hassan al-Basry dan Ibrahim al-Nakha’iy berpendapat bahawa harus menghubungkan anak zina dengan bapak zinanya setelah dikenakan hukuman hudud.

Oleh karena itu, dalam konteks fiqh, putusan MK tersebut masuk dalam ranah fiqh siyasah (kebijkan dan putusan penguasa negara), sejauh memenuhi unsur maslahah dalam putusan itu, maka putusan itu sah dalam pandangan fiqh. dengan demikian, semua anak yang dilahirkan dibolehkan mencamtumkan nama ayahnya dan ayah biologisnya pada namanya dan akte kelahiran.

Menurut kajian Ushul Fiqh dalam bab maqashid al-syari'ah dijelaskan bahwa ada lima pilar dasar yang wajib dijaga dalam Islam, salah satunya kepastian garis keturunan (nasab). Dengan demikian dalam wilayah negara hukum, setiap orang wajib mendapatkan kepastian hukum termasuk anak-anak yang memerluakan kepastian ayahnya, untuk menjaga kerusakan yang lebih besar (sadduz zara'i) yang ditimbulkan oleh anak-anak yang tidak memiliki kepastian ayahnya, maka menetapkan/mencamtumkan ayah biologisnya pada nama dan identitasnya dipandang baik (maslahah), dengan syarat dapt dibuktikan secara ilmiyah dan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Lalu bagaimana kita bersikap? Tidak menjadikan putusan MK tersebut sebagai hukum yang diterapkan pada kasus-kasus yang melingkupinya, artinya hanya berlaku pada tatanan pengakuan administrasi pada identitas seorang anak bukan pada persoalan kewarisan dan perwalian serta akibat-akibat hukum lainnya.

wallahu a'lam bi al-shawab, semoga terinfirasi!!!!!!!

Sabtu, 18 Februari 2012

Hukum Patah Titi dalam Kewarisan Adat Aceh

Pertanyaan: 
Hamba Allah di Meureubo Aceh Barat
Bagaimana kedudukan ahli waris pengganti dalam menyelesaikan sengketa ahli waris ?

Jawab:
Ilmu mawaris adalah suatu ilmu yang membahas tentang peralihan hak atas harta yang ditinggalkan oleh orang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup. Ilmu mawaris juga disebut ilmu faraidh, karena dalam ilmu tersebut dibicarakan bagian-bagian hak ahli waris tertentu yang telah ditetapkan nash syari’at.

Hukum kewarisan Islam secara substantif-teoritis merupakan salah satu materi hukum yang paling rinci (tafshili) disebutkan nash al-Qur’an, meliputi semua persoalan kewarisan, baik yang berhubungan dengan penentuan pewaris (orang yang meninggal), penetapan ahli waris yang berhak menerima harta warisan (ashab al-furudh) dan bagian masing-masing ahli waris (furudh al-muqaddarah), serta identifikasi harta warisan. Dengan demikian doktriner hukum kewarisan Islam memberikan ruang yang sangat sempit terhadap kreatifitas ijtihadi.

Menurut hukum positif, pasal 185 ayat (1-2) Kompilasi Hukum Islam, teori patah titi tidak diakui (non legitimize), dan hanya mengenal istilah ganti tempat, artinya cucu menggantikan kedudukan ayah atau ibunya dalam mewarisi harta kakek atau neneknya. Ketentuan itu dimaksudkan sebagai modifikasi hukum kewarisan Islam dengan memperhatikan kenyataan hukum kewarisan dalam meyarakat. Pergantian tempat (plaatsvervulling) dalam sistem kewarisan Kompilasi Hukum Islam bertujuan untuk memberikan hak kewarisan cucu atas harta warisan yang orang tuanya lebih dulu meninggal dari kakek atau neneknya.

Sebaliknya dalam praktek kewarisan adat Aceh tidak diakui teori plaatsvervulling tersebut. Bahkan status cucu tidak dapat menggantikan posisi orang tuanya yang lebih dulu meninggal dalam hal mewarisi harta kakek atau neneknya. Berbeda dengan pelaksanaan hukum kewarisan di beberapa negara Islam dalam kasus di atas, tetap mengakui hak “kewarisan” cucu dari harta kakek atau neneknya yang orang tuanya terlebih dulu meninggal meskipun dalam bentuk wasiat wajibah sebagaimana yang berlaku dalam hukum kewarisan Mesir, atau menghabiskan bagian 2/3 sisa harta warisan seperti yang berlaku di Arab Saudi. Dengan demikian, dalam keadaan bagaimanapun cucu tetap mendapatkan hak dari harta peninggalan kakek atau neneknya, dan tetap diakui sebagai “ahli waris yang berhak” menerima pusaka kakek-nenek yang orang tuanya lebih dulu meninggal dari kakek-neneknya.

Pada sisi yang sama term patah titi sudah sangat dikenal dalam praktek hukuk kewarisan adat Aceh, bahkan telah menjadi istilah “negatif” bagi anak-anak yang orang tuanya lebih dahulu meninggal dunia dari kakeknya. Ungkapan-ungkapan berikut sering terjadi dalam masyarakat adat Aceh berkaitan dengan patah titi:
  1. “Kamu tidak ada hak lagi, karena sudah patah titi”. Maksudnya adalah, seorang paman mengatakan kepada seorang keponakannya bahwa ia tidak mendapatkan hak kewarisan apapun dari harta yang ditinggalkan oleh orang tua pamannya (kakek dari keponakannya sendiri), sebab orang tua (saudara paman) keponakan itu sudah terlebih dulu meninggal dari kakeknya;
  2. “Kita tidak ada hubungan lagi, karena kita sudah patah titi”. Ungkapan seperti itu biasa diucapkan oleh seorang keponakan kepada pamannya, namun yang dimaksudkan bukan sekedar tidak ada hubungan hak kewarisan, akan tetapi tidak ada hubungan kekerabatan dengan pamannya, hal itu terjadi lantaran ia tidak mendapatkan hak kewarisan apapun dari harta kakeknya dengan sebab orang tuannya lebih dulu meninggal dari kakeknya;
  3. “Kamu tidak bisa menuntut hak kewarisan, karena kamu sudah patah titi”. Maksunya idalah, bahwa seorang cucu tidak boleh menutut hak kewarisan kakeknya, sebab orang tuanya lebih dahulu meninggal dari kakeknya, sedangkan orang tuanya ada saudara laki-laki yang masih hidup.

Ilustrasi di atas menggambarkan bahwa, pelaksanaan patah titi dalam hukum kewarisan adat Aceh memunculkan problematika hukum yang membutuhkan penelitian yang lebih mendalam dan sungguh-sungguh, khususnya tentang kenyataan hukum patah titi tersebut dan inplikasinya terhadap penerapan prinsip-prinsip universal hukum kewarisan Islam terhadap hukum partukular. Salah satu nilai keuniversalan hukum kewarisan Islam adalah, bahwa peralihan hak kewarisan pewaris kepada ahli waris bertujuan untuk menjaga kesinambungan garis nasal ((keturunan). Sebaliknya pelaksanaan patah titi dalam hukum kewarisan adat Aceh cenderung memutuskan hubungan kekerabatan di antara ahli waris, terutama ahli waris garis keturunan ke bawah (cucu).

Inplikasi dari praktek patah titi dalam hukum kewarisan adat Aceh adalah, munculnya rasa ketidakadilan di antara ahli waris, putusnya hubungan kekerabatan dan hilangnya hubungan silaturrahmi antara paman dan keponakan. Apabila ada suatu acara syukuran (kenduri) di rumah seorang paman, maka keponakan yang berstatus patah titi akan mengatakan bahwa ia tidak ada hubungan saudara dengan pamannya itu. Dengan demikian praktek patah titi tersebut lebih besar dampak negatifnya dibandingan kepastian hukum patah titi itu sendiri serta tidak mencerminkan nilai-nilai universal hukum kewarisan Islam. Di samping itu praktek patah titi terasa tidak layak, tidak patut, tidak adil, tidak manusiawi menghukung seseorang untuk tidak berhak menerima warisan yang semestinya diterima ayahnya, hanya karena faktor ajal ayahnya lebih dahulu meninggal dari kakeknya, apalagi saat kakeknya meninggal, semua anak-anaknya sudah berkecukupan, sedangkan para cucu disebabkan ditinggal yatim ayahnya melarat miskin. Apakan dianggap adil melenyapkan hak mereka untuk memperoleh apa yang semestinya diperoleh bapaknya?

Demikian, mudah-mudah bermanfaat.