Sabtu, 18 Februari 2012

Hukum Patah Titi dalam Kewarisan Adat Aceh

Pertanyaan: 
Hamba Allah di Meureubo Aceh Barat
Bagaimana kedudukan ahli waris pengganti dalam menyelesaikan sengketa ahli waris ?

Jawab:
Ilmu mawaris adalah suatu ilmu yang membahas tentang peralihan hak atas harta yang ditinggalkan oleh orang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup. Ilmu mawaris juga disebut ilmu faraidh, karena dalam ilmu tersebut dibicarakan bagian-bagian hak ahli waris tertentu yang telah ditetapkan nash syari’at.

Hukum kewarisan Islam secara substantif-teoritis merupakan salah satu materi hukum yang paling rinci (tafshili) disebutkan nash al-Qur’an, meliputi semua persoalan kewarisan, baik yang berhubungan dengan penentuan pewaris (orang yang meninggal), penetapan ahli waris yang berhak menerima harta warisan (ashab al-furudh) dan bagian masing-masing ahli waris (furudh al-muqaddarah), serta identifikasi harta warisan. Dengan demikian doktriner hukum kewarisan Islam memberikan ruang yang sangat sempit terhadap kreatifitas ijtihadi.

Menurut hukum positif, pasal 185 ayat (1-2) Kompilasi Hukum Islam, teori patah titi tidak diakui (non legitimize), dan hanya mengenal istilah ganti tempat, artinya cucu menggantikan kedudukan ayah atau ibunya dalam mewarisi harta kakek atau neneknya. Ketentuan itu dimaksudkan sebagai modifikasi hukum kewarisan Islam dengan memperhatikan kenyataan hukum kewarisan dalam meyarakat. Pergantian tempat (plaatsvervulling) dalam sistem kewarisan Kompilasi Hukum Islam bertujuan untuk memberikan hak kewarisan cucu atas harta warisan yang orang tuanya lebih dulu meninggal dari kakek atau neneknya.

Sebaliknya dalam praktek kewarisan adat Aceh tidak diakui teori plaatsvervulling tersebut. Bahkan status cucu tidak dapat menggantikan posisi orang tuanya yang lebih dulu meninggal dalam hal mewarisi harta kakek atau neneknya. Berbeda dengan pelaksanaan hukum kewarisan di beberapa negara Islam dalam kasus di atas, tetap mengakui hak “kewarisan” cucu dari harta kakek atau neneknya yang orang tuanya terlebih dulu meninggal meskipun dalam bentuk wasiat wajibah sebagaimana yang berlaku dalam hukum kewarisan Mesir, atau menghabiskan bagian 2/3 sisa harta warisan seperti yang berlaku di Arab Saudi. Dengan demikian, dalam keadaan bagaimanapun cucu tetap mendapatkan hak dari harta peninggalan kakek atau neneknya, dan tetap diakui sebagai “ahli waris yang berhak” menerima pusaka kakek-nenek yang orang tuanya lebih dulu meninggal dari kakek-neneknya.

Pada sisi yang sama term patah titi sudah sangat dikenal dalam praktek hukuk kewarisan adat Aceh, bahkan telah menjadi istilah “negatif” bagi anak-anak yang orang tuanya lebih dahulu meninggal dunia dari kakeknya. Ungkapan-ungkapan berikut sering terjadi dalam masyarakat adat Aceh berkaitan dengan patah titi:
  1. “Kamu tidak ada hak lagi, karena sudah patah titi”. Maksudnya adalah, seorang paman mengatakan kepada seorang keponakannya bahwa ia tidak mendapatkan hak kewarisan apapun dari harta yang ditinggalkan oleh orang tua pamannya (kakek dari keponakannya sendiri), sebab orang tua (saudara paman) keponakan itu sudah terlebih dulu meninggal dari kakeknya;
  2. “Kita tidak ada hubungan lagi, karena kita sudah patah titi”. Ungkapan seperti itu biasa diucapkan oleh seorang keponakan kepada pamannya, namun yang dimaksudkan bukan sekedar tidak ada hubungan hak kewarisan, akan tetapi tidak ada hubungan kekerabatan dengan pamannya, hal itu terjadi lantaran ia tidak mendapatkan hak kewarisan apapun dari harta kakeknya dengan sebab orang tuannya lebih dulu meninggal dari kakeknya;
  3. “Kamu tidak bisa menuntut hak kewarisan, karena kamu sudah patah titi”. Maksunya idalah, bahwa seorang cucu tidak boleh menutut hak kewarisan kakeknya, sebab orang tuanya lebih dahulu meninggal dari kakeknya, sedangkan orang tuanya ada saudara laki-laki yang masih hidup.

Ilustrasi di atas menggambarkan bahwa, pelaksanaan patah titi dalam hukum kewarisan adat Aceh memunculkan problematika hukum yang membutuhkan penelitian yang lebih mendalam dan sungguh-sungguh, khususnya tentang kenyataan hukum patah titi tersebut dan inplikasinya terhadap penerapan prinsip-prinsip universal hukum kewarisan Islam terhadap hukum partukular. Salah satu nilai keuniversalan hukum kewarisan Islam adalah, bahwa peralihan hak kewarisan pewaris kepada ahli waris bertujuan untuk menjaga kesinambungan garis nasal ((keturunan). Sebaliknya pelaksanaan patah titi dalam hukum kewarisan adat Aceh cenderung memutuskan hubungan kekerabatan di antara ahli waris, terutama ahli waris garis keturunan ke bawah (cucu).

Inplikasi dari praktek patah titi dalam hukum kewarisan adat Aceh adalah, munculnya rasa ketidakadilan di antara ahli waris, putusnya hubungan kekerabatan dan hilangnya hubungan silaturrahmi antara paman dan keponakan. Apabila ada suatu acara syukuran (kenduri) di rumah seorang paman, maka keponakan yang berstatus patah titi akan mengatakan bahwa ia tidak ada hubungan saudara dengan pamannya itu. Dengan demikian praktek patah titi tersebut lebih besar dampak negatifnya dibandingan kepastian hukum patah titi itu sendiri serta tidak mencerminkan nilai-nilai universal hukum kewarisan Islam. Di samping itu praktek patah titi terasa tidak layak, tidak patut, tidak adil, tidak manusiawi menghukung seseorang untuk tidak berhak menerima warisan yang semestinya diterima ayahnya, hanya karena faktor ajal ayahnya lebih dahulu meninggal dari kakeknya, apalagi saat kakeknya meninggal, semua anak-anaknya sudah berkecukupan, sedangkan para cucu disebabkan ditinggal yatim ayahnya melarat miskin. Apakan dianggap adil melenyapkan hak mereka untuk memperoleh apa yang semestinya diperoleh bapaknya?

Demikian, mudah-mudah bermanfaat.

15 komentar:

  1. Haramain Usman di Univ. Hukum Muhammadiyah Aceh

    Bagaimana pendapat bapak terhadap putusan MK yang menerima permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang status anak haram ?

    Terimakasih atas asanya blog ini. Bagi saya sangat membantu

    BalasHapus
    Balasan
    1. alaikum salam wr.wb!
      sebelumnya saya jelaskan bahwa tidak ada terminologi anak haram dan anak zina dalam islam, yang ada adalah anak yang dilahirkan dari hasil perbuatan haram dan zina. menurut kaedah mafhum, sesuatu yang dihasilkan dari yang haram, hasilnya juga haram, namun kaedah mafhum dalam kasus "anak haram" tidak dapat diperlakukan karena ada hadis yang menjelaskan "kullu mauludin yuladu 'ala alfitrah.... setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Katakanlah: "Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, Padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan." (QS. Al-An’am: 164).

      menyangkut dengan persoalan anak sah dan anak biologis akan kita kupas pada waktu lain!

      berkaitan dg putusan MK ttg pembatalan satu pasal palal UU perkawinan yang diajukan oleh marchicha (istri sirri moerdiono) pada dasarnya berdampat pada perubahan bangunan hukum islam itu sendiri khususnya masalah perkawinan, kewarisan dan perwalian nikah.

      sebelumnya penulis mencoba menguraikan pendapat imam mazhab ttg anak sah. Menurut pendapat Mazhab Hanafi, jika seseorang lelaki kawin dengan seorang wanita, kemudian wanita tersebut melahirkan anak dalam waktu kurang dari enam bulan dari tanggal pernikahan, anak tersebut tidak dinasabkan kepada lelaki itu kerana pembenihan telah terjadi sebelum nikah. begitu pula pendapat mazhab zahiri, dan mazhab syafi'i membolehkan seorang suami menyangkal anaknya yang lahir di atas 6 bulan dan kurang dari 4 bulan masa pernikahan dengan cara li'an. kalau tidak disanggah, maka anak itu dibangsakan kepadanya sesuai dengan hadis, maksudnya: Keabsahan seorang kanak berasal dari tempat tidur...(Riwayat Al-Bukhari).

      anak yang lahir dari hasil zina menurut jumhur tidak dinasabkan kepada bapak biologisnya, namun menurut ibn Muhammad bin Sirrin, Ibn Taimiyyah, Ibn Qayyim, Hassan al-Basry dan Ibrahim al-Nakha’iy berpendapat bahawa harus menghubungkan anak zina dengan bapak zinanya setelah dikenakan hukuman hudud.

      Oleh karena itu, dalam konteks fiqh, putusan MK tsb masuk dalam ranah fqh siyasah (kebijkan dan putusan penguasa negara), sejauh memenuhi unsur maslahah dalam putusan itu, maka putusan itu sah dalam pandangan fiqh. dengan demikian, semua anak yang dilahirkan dibolehkan mencamtumkan nama ayahnya dan ayah biologisnya pada namanya dan akte kelahiran.

      sebagai tambahan.... menurut kajian ushul fiqh dalam bab maqashid al-syari'ah dijelaskan bahwa ada lima pilar dasar yang wajib dijaga dalam islam, salah satunya kepastian garis keturunan (nasb). dengan demikian dalam wilayah negara hukum, setiap orang wajib mendapatkan kepastian hukum termasuk anak-anak yang memerluakan kepastian ayahnya, untuk menjaga kerusakan yang lebih besar (sadduz zara'i) yang ditimbulkan oleh anak-anak yang tidak memeliki kepastian ayahnya, maka menetapkan/mencamtumkan ayah biologisnya pada nama dan identitasnya dipandang baik (maslahah), dengan syarat dapt dibuktikan secara ilmiyah dan IPTEK.
      lalu bagaimana kita bersikap? tidak menjadikan putusan MK tsb sebagai hukum yang diterapkan pada kasus kasus yang melingkupinya, artinya hanya berlaku pada tatanan pengakuan administrasi pada identitas seorang anak bukan pada persoalan kewarisan dan perwalian serta akibat akibat hukum lainnya.

      wallahu a'lam bi al-shawab, semoga terinfirasi!!!!!!!

      maaf terlambat dibuka pertanyaan anda!

      Hapus
    2. kasus saya ini, gini pak orang tua saya sudah duluan meninggal dunia tertimpa musibah tsunami tapi kakek saya sudah membagi hartanya sebelum naik haji semasa ada ayah saya tapi yg aneh ayah saya tidak diberi tahukan..dan tiba kakek sudah meninggal paman saya mengatakan saya udah patah titi..
      tolong di bantu !

      Hapus
    3. ‘alaikumsalam wr wb.
      Persoalan kewarisan dalam islam tidak terlepas dari tiga unsure pokok, ketiadaan salah satu unsur tsb, maka persoalan kewarisan tidak ada manfaat dibicarakan. Yaitu; PEWARIS (orang yang meninggal dunia), AHLI WARIS (orang yang hidup yang akan mewarisi harta) dan HANTA WARISAN (semua harta dan hak-hak pewaris).
      Apabila ada pewaris dan ada ahli waris, tetapi tidak ada harta warisan, apa yang mau dibagi? Ada ahli waris, banyak sekali harta warisan, tapi tedak adak orang meninggal (pewaris), ahli waris yang dapat menunggu dan menonton, begitu pula ada pewaris, banyak sekali harta yang ditinggalkan, namun tidak ada ahli waris, tinggal serahkan ke baitul mal selesai!!!!
      Menanggapi persoalan saudara anonim, dapat dijelaskan sbb: pembagian harta yang dilakukan oleh kakek saudara, biasa disebut dengan pembagian warisan secara wasiat, artinya sebelum meningal seseorang membagikan hartanya kepada yang berhak sesuai dengan ketentuan hukum kewarisan Islam, namun hak itu sah (dapat dinikmati oleh ahli warisnya) setelah meninggal kakek anda, syaratnya, semua ahli waris setuju dan mengetahui. Dengan demikian ayah anda termasuk salah seorang yang berhak walaupun sudah meninggal duluan dari kakek.
      Secara hukum ahli waris itu harus tahu ada hak dan berapa hak warisan yang diperolehnya, anda tidak dapat memastikan apakah ayah anda tahu atau tidak atau paman anda juga sama bahwa kakek anda telah mewarisi hartanya secara wasiat.
      Kalau dalam kenyataannya wasiat itu memang tidak diketahui oleh salah seorang ahli waris, atau semua ahli waris, anda telah masih berhak terhadap harta kakek anda, paman anda tidak dapat mengatakan anda sudah patah titi. Apabila lewat musyawarah keluarga atau aparat gampong tidak dapat mendamaikan persoalan warisan kakek anda, maka anda masih bisa mengajukan guguatan ke mahkamah Syar’iyah kab/kota. Selanjutnya baca hukum patah titi pada rubrik konsultasi kewarisan islam. Semoga berguna.

      Hapus
  2. Jika mengalami kasus masalah patah titi ini kemana melapornya? Bisa dituntut tidak hak kita?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Laporkan saja ke Mahkamah Syar'iyah, asal Anda melengkapinya dengan bukti yang diperlukan, kenapa tidak.

      Hapus
    2. masalah hukum patah titi termasuk persoalan krusial dalam hukum kewarisan adat aceh, tidak semua orang dapat memahami dg benar bahkan ada yang menantang secara emosional tanpa didukung alasan logis. oleh karena itu, apabila ada kasus kewarisan patah titi sebaiknya tidak langsung menempuh prosedur litigasi (peradilan/MS), diharapkan jalan musyawarah keluarga lebih diutamakan, tujuannya adalah untuk menjaga dan mempertahkan keutuhan tali kekerabatan antar ahli waris. jika jalur musyawarah dirasakan sulit untuk diharapkan hasil, maka dapat diminta bantu perangkat adat hukum setempat, kalaupun dirasakan berat, dapat diselesaikan secara mediasi, yaitu penyelesaian sengketa dua pihak yang dibantu oleh seorang hakim mediator yang profesional di bidang perdamaian sengketa hukum waris, saya dan beberapa teman insya Allah dapat membantu siapapun yang membutuhkan jasa penyelesaian sengketa waris tanpa tarif. paling kurang di aceh terdapat beberapa orang hakim mediator yang memiliki sertifikat Mahkamah Agung. jika jalur mediasi tidak dapat menghasilkan perdamaian antar ahli waris, barus ditempuh jalur formal, yaitu mengajukan gugtan ke Mahkamah Syar'iyyah kabupaten/kota sesuai domisili, selanjutnya Mahkamah Syar'iyyah Propinsi dan kasasi ke Mahkamah Agung, dalam keadaan bagaimanapun hak kewarisan ahli waris patah titi diakui oleh hukum kewarisan Islam dan Nasional, insya Allah dapat diperoleh dengan cara-cara di atas, sebab baik MS Kabupaten sampai MA tetap berpengang pada Kompilasi Hukum Islam/ KHI khususnya pasal 185 ayat (1-2). terima kasih kepada anonim yang telah menanggapi pertanyaan sdr rinaldi, telah menginspirasi orang lain, di samping selama ini saya agak sedikit ada kesibukan. semoga berguna!!!!!

      Hapus
    3. Boleh minta kontaknya bang ?

      Hapus
  3. Bagaimana status "hareuta peunulang" dalam warias adat aceh ditinjau dari kewarisan islam ?
    terimakasih sebelumnya
    wassalam....

    BalasHapus
    Balasan
    1. alaikumsalam wr wb.
      ada beberapa istilah yang digunakan dalam praktek hukum kewarisan adat aceh yang tergogong tentang harta hibah, yaitu; harta peunulang, harta pemekleh dan harta hibah. menurut praktek dalam masyarakat aceh, semua bentuk harta tsb menjadi harta milik penuh tanpa dapat digugat lagi oleh ahli waris lain.
      Apa itu harta peunulang (peumeukleh)? Yaitu harta penghibahan (pemberian) yang berupa benda tidak bergerak (rumah atau tanah) dari orang tua kepada anak perempuanya yang telah menikah.
      Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup atau suatu lembaga untuk dimiliki.

      Hibah hanya dapat diberikan sebanyak-banyaknya 1/3 dari jumlah harta si Penghibah (Pasal 210 KHI)

      Suatu benda yang dihibahkan oleh ayah kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai harta warisan. (pasal 211 KHI).

      Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua kepada anaknya. (Pasal 212 KHI).

      Hibah yang diberikan pada saat Pemberi hibah dalam keadaan sakit yang dekat dengan kematian, maka harus mendapat persetujuan dari ahli ahli warisnya. (Pasal 213).

      Syarat-syarat hibah adalah :
      - berumur sekurang-kurangnya 21 tahun;
      - berakal sehat;
      - tanpa adanya paksaan;
      - tidak melebihi jumlah 1/3 dari jumlah harta;
      - di hadapan 2 orang saksi.
      Harta puenulang dalam prakteknya berbeda dengan harta pemeukleh. Harta peunulang apabila tidak disetujui oleh salah seorang ahli waris, maka ia dapat dihitung sebagai harta warisan, sama hukumnya dengan harta hibah. Sedangkan harta pemeukleh agak sulit dimasukkan dalam hukum hibah, sebab dalam praktek adat aceh, ada sebagian daerah (pidie, pijay dan daerah lain) menjadikan menantu (suami anaknya) menetap beberapa saat (biasanya lahir anak pertama) bersama sama mertua. Kalau pun menantunya bekerja seolah-olah kerjanya atas nama mentua, ia tidak dapat memiliki apapun. Setelah masa tertentu, mertuanya menyerahkan sepetak tanah, seekor kerbau, sepetak kebun rumbiya, atau harta lain (disesuaikan dengan kondisi mertua), kemudian diminta turun dari rumah mertua atau mengasingkan (peumeukleh) dengan mertua bersama bekal yang telah diberikan. Harta peumeukleh itu pada dasarnya menjadi hak milik sebagai ganti bekerja selama bersama mertua. Semoga dapat dipahami.

      Hapus
  4. Hukum patah tutue bentuk kefanatikan adat aw aceh. ulama di daerah laen atau di arab di donya hana di pakek patah tutue, aw aceh aw fanatik asai gemeu imum hna that geupakek akai yg ptg taseutot ata kana ka keuramat. aw aceh aw plg jroeh

    BalasHapus
  5. apakah hukum adat pembagian hareuta peunulang tersebut mempunyai akibat menurut hukum islam? nyatanya, pemberian nya khusus kepada anak perempuan dan harta sebenarnya lebih banyak kepada anak laki-laki

    terima kasih

    BalasHapus
  6. Patah titi itu masuk ke hukum syariah atau hukum adat.

    BalasHapus